17 September 2012

Prof. John Roosa: Identitas bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965


BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling bersejarah dalam cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu peristiwa yang menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru.

Cita-cita tentang Indonesia yang demokratis, yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan, yang meniscayakan kebhinekatunggalikaan, sejak September 1965 terkubur bersama jutaan bangkai manusia sebangsa.  Setelah September 1965, kita seperti orang mabuk yang berjalan terseok-seok, kumuh, dan sering beringas dalam menggapai dan merumuskan identitas sebagai sebuah bangsa. Tapi mengherankan, tidak banyak studi yang dilakukan dalam masa-masa paling gelap itu. Tidak ada ’seujung kuku’ jika dibandingkan dengan, misalnya, studi tentang Holocaus Nazi/Hitler terhadap bangsa Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II. Padahal, Peristiwa G30S 1965 dan yang menyertainya, merupakan tragedi kemanusiaan terbesar kedua setelah Holocaus dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang ditimbulkannya. Kita seperti ingin melupakannya ketimbang merenungkannya, ingin membantahnya ketimbang  memahaminya.

27 April 2011

Heru Atmodjo dalam "Dalih Pembunuhan Massal" #Makam Heru Atmodjo dipindahpaksa

Minat saya kepada G-30-S semakin diperkuat ketika, lagi-lagi secara tidak sengaja, bertemu dengan mantan perwira militer yang namanya disebut melalui siaran radio sebagai wakil komandan G-30-S: Heru Atmodjo. Ia seorang letnan kolonel Angkatan Udara. Hampir sepanjang hari pada 1 Oktober 1965 Atmodjo bersama Supardjo dan dipenjara bersama dengannya pula pada 1967-68. Ia mengonfirmasi keaslian dokumen Supardjo itu. Ia bahkan pernah diberi salinannya oleh Supardjo untuk dibaca di dalam penjara.(43) (Menurut Atmodjo, dokumen-dokumen biasanya diselundupkan keluar-masuk penjara oleh para penjaga yang simpati). Atmodjo juga mengonfi rmasi banyak penegasan yang dikemukakan Supardjo dalam dokumen itu. Saya berulang kali berbicara dengan Atmodjo selama tiga tahun dan mengadakan empat wawancara yang direkam dengannya.
          Setelah membaca dokumen Supardjo dan berbicara dengan Heru Atmodjo, saya berkesimpulan perlu ada analisis baru mengenai G-30-S. (DPM, hlm. 21)
(41) Rekaman sidang Mahmilub terhadap Supardjo pada 1967 tersedia di Museum TNI Satria Mandala, Jakarta, dan Kroch Library di Cornell University. Bagian-bagian tertentu dari rekaman sidang Supardjo digunakan oleh Crouch, The Army and Politics in Indonesia, 115, 127, 128, 132. Sebelumnya ada juga penemuan sumber primer penting yang terpendam di dalam rekaman Mahmilub. Awal 1980-an, saat membaca rekaman sidang Letkol Heru Atmodjo, Benedict Anderson menemukan laporan otopsi jasad tujuh perwira yang dibunuh G-30-S di Jakarta. Suharto menyembunyikan laporan itu, tapi militer melampirkannya dalam beberapa rekaman sidang Mahmilub sebagai bukti, tanpa menyadari akibatnya di masa mendatang (Anderson, “How Did the Generals Die?”) (DPM, hlm. 45n41)

Catatan:

Atmodjo, Heru (Letnan Kolonel),
     21, 45n41, 56-59, 61, 63, 64-65,
     68-70, 72, 86n17,121n65, 130, 
     135, 155, 159, 160, 166n17, 190, 
     198n40, 311-312, 323, 341n11 

21 Februari 2011

Menulis Buku, Meluruskan Sejarah

ATMAKUSUMAH

Menulis buku membuat saya ingat pada pendapat Gertrude Hartman dalam kata pengantar bukunya, Builders of the Old World, yang terbit tahun 1959.

Katanya, ”Menyebarkan fakta dan gagasan melalui buku, majalah, dan surat kabar adalah salah satu cara terkuat untuk belajar tentang kebenaran mengenai apa yang sedang terjadi di dunia. Kita harus tahu kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.”

14 Oktober 2010

Indonesia revokes book-ban law from Suharto days

By IRWAN FIRDAUS, Associated Press Writer – Thu Oct 14, 2:21 am ET


JAKARTA, Indonesia – A landmark decision striking down an Indonesian book-banning law that has been used since the days of ex-dictator Suharto to clamp down on dissent was welcomed Thursday by historians, authors and rights activists.

For more than four decades, the attorney general's office could unilaterally prohibit publication or distribution of books deemed "offensive" or a "threat to public order."

But the Constitutional Court ruled Wednesday such power should rest with a judicial court.