23 Desember 2009

Pelarangan Buku oleh Kejaksaan Dinilai Tak Berdasar

Rabu, 23 Desember 2009 | 21:01 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai pelarangan lima buku oleh Kejaksaan Agung tidak berdasar.

"Apa dasarnya pelarangan buku saat ini? Saya yakin itu produk Orde Lama," ujar Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Yosep Adi Prasetyo ketika dihubungi Rabu (23/12).

Kejaksaan Agung menyatakan lima buku sebagai buku terlarang. Kelimanya adalah “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” karangan John Rosa; “Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri” karya Cocrates Sofyan Yoman; “Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965” karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; “Enam Jalan Menuju Tuhan” karya Darmawan MM; serta “Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama” yang ditulis Syahrudin Ahmad.


Menurut Yosep, pelarangan oleh Kejaksaan merujuk situasi Orde Lama dan Orde Baru. Tim Sembilan yang bertugas menyeleksi buku oleh kejaksaan diharap membuka identitasnya. Tim yang terdiri dari pihak intelijen, kepolisan, kejaksaan, dan kehakiman ini tidak pernah diketahui publik siapa saja anggotanya.

"Harus dibuka, jangan-jangan anggota Tim tidak tahu apa-apa," imbuh dia. Yosep Adi Prasetyo mencontohkan buku Jhon Rosa yang sudah beredar lama dan dalam dicetak pula dalam bahasa Inggris. "Apakah yang melarang ini tahu sejarah, jangan-jangan hanya sarjana hukum," ucap Yosep.

Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. "Di situ ada jaminan untuk berekspresi termasuk menulis dan juga pers," jelas Yosep.

Selain itu sejak adanya Tap MPR No 17 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, seharusnya pelarangan buku tersebut batal demi hukum.

Direktur Hubungan Eksternal Imparsial Poengky Indarti menyatakan rakyat tidak bodoh untuk menilai isi sebuah buku. "Ini pembodohan, apalagi kalau alasannya rakyat merasa terancam," ujar dia ketika dihubungi terpisah.

Pelarangan buku, Poengky melanjutkan, merupakan bentuk ketakutan negara. "Negara kok menjadi lebih otoriter, katanya mau reformasi," papar dia. Buku yang tidak boleh dibaca, menurut Poengky, melanggar kebebasan berpendapat. "Sudah inkonstitusional," imbuh dia.

DIANING SARI

Tidak ada komentar: