Satu aspek yang tidak bermanfaat dalam debat tentang G-30-S di Indonesia adalah kecenderungan untuk menggolongkan posisi apa pun apakah sebagai pro-PKI atau anti-PKI. Siapapun yang tidak menyetujui penahanan dan pembunuhan massal atau menunjukkan simpati terhadap tahanan politik dianggap sebagai pendukung PKI.
Saya dapat memahami seandainya seseorang mengambil sikap antagonistik terhadap PKI sebelum 1965: PKI adalah partai yang berniat mendirikan negara satu partai, yang dipimpin oleh orang-orang yang berbicara dan menulis secara dogmatis dan berdasarkan rumus-rumus baku, yang menggalang pengikut-pengikutnya untuk mengintimidasi organisasi-organisasi pesaingnya. Tapi saya tidak dapat mengerti bagaimana orang dapat membenarkan cara partai tersebut ditindas: kebohongan-kebohongan propaganda negara untuk memicu kekerasan, penangkapan massal tanpa dakwaan, interogasi dengan penyiksaan, penahanan berkepanjangan tanpa pengadilan, penghilangan paksa dan pembunuhan kilat. Sekarang, setelah 40 tahun berlalu, kita seharusnya sudah mampu berhenti berpikir semata-mata dalam kerangka dikotomis tentang peristiwa-peristiwa tersebut, seakan-akan tiap kritik terhadap kisah resmi rezim Suharto hanya dapat didorong oleh kecintaan terhadap PKI.
Sudah saatnya pula untuk berhenti berpikir mengikuti stereotip-stereotip basi. Sepanjang kekuasaan Suharto PKI digambarkan sebagai momok jahat sehingga tidak mungkin memahami bagaimana partai itu pernah menjadi demikian populer, dengan jutaan anggota dan simpatisan. Bagaimana mungkin sebegitu banyak orang Indonesia dihujat sebagai iblis? Buku ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa anggota-anggota PKI sebenarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang-orang lain di Indonesia.
[John Roosa, Kata Pengantar Edisi Bahasa Indonesia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar