I Gusti Agung Ayu Ratih, Pemohon Uji Materi UU Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum didampingi Tim Kuasa Pemohon sedang mendengarkan nasihat dari Majelis Hakim di ruang sidang panel MK, Kamis (15/04). |
Jakarta, MK Online – Buku merupakan sarana pengembangan pengetahuan dan sumber daya bagi pencerdasan bangsa. Buku-buku yang dilarang oleh Kejaksaan Agung justru memberikan informasi baru tentang topik-topik yang peka dan kontroversial dalam masyarakat dan membantu masyarakat memahami persoalan berbagai segi, termasuk dari perspektif yang jarang dikenal masyarakat selama ini.
Demikianlah yang diutarakan oleh Taufik Basarai selaku kuasa hukum Pemohon pengujian materi UU 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum, Kamis sore, di ruang sidang panel MK (15/04).
Permohonan yang teregistrasi dengan No. 20/PUU-VII/2010 ini dimohonkan oleh I Gusti Agung Ayu Ratih, Institut Sejarah Sosial Insonesia (ISSI) selaku penerbit buku yang ditulis oleh John Rossa yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto dan Rhoma Dwi Aria selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku. Turut hadir pula dalam persidangan yakni Hilmar Farid sejarawan ISSI, Kemala Chandrakirana (Komnas Perempuan).
“UU ini diterbitkan saat kondisi tidak ada rule of law dan ketika diterapkannya demokrasi terpimpin. Konteks sosial saat ini dan saat diterbitkannya UU tersebut telah jauh berbeda. Kebijakan pelarangan buku sebagai prerogatif aparat pemerintah adalah indikator sebuah negara yang otoriter dan bertentangan dengan amanat UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa,“ terang Taufik Basari.
Beredarnya buku-buku yang mengajukan perspektif dan fakta yang berbeda, menurut Pemohon, adalah kemajemukan dalam masyarakat yang perlu dipelihara. “Hak kebebasan berpendapat inilah yang kemudian merugikan hak konstitusional kami dengan dilarangnya buku oleh Kejaksaan Agung,” tutur I Gusti Agung Ayu Ratih.
Selain itu tambah Taufik Basari dalam persidangan, UU Pengamanan Barang Cetakan ini tidak sejalan dengan UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI dalam periode reformasi. “Kewenangan yang diberikan oleh Kejaksaan Agung dari ketentuan pengamanan menjadi pengawasan peredaran barang cetakan merupakan sebuah semangat perbaikan, namun ketika masih berlakunya UU Pengamanan Barang Cetakan, maka tafsir Kejaksaan Agung berubah menjadi melarang buku,” kata suami pembawa berita salah satu televisi swasta ini.
Dalam petitumnya, Pemohon menginginkan supaya MK menerima permohonan dan menyatakan bahwa UU 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Majelis Hakim Panel memberikan pertanyaan dan masukan kepada Pemohon bahwa dalil yang diajukan oleh Pemohon adalah terkait proses pembentukan UU Pengamanan Barang Cetakan saat demokrasi terpimpin yang tentu saja berbeda konteks sosialnya dan tidak sejalan lagi dengan perubahan. “Jadi, Pemohon di sini ingin mengujikan secara materil atau formil. Hal ini akan berbeda implikasinya, mohon hal ini dipertimbangkan pula,” tutur Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Menanggapi hal tersebut, Pemohon dan juga kuasa hukum akan mempertimbangkan pula. “Saran ini cukup menarik dan merupakan hal yang baru dengan adanya uji formil karena selama ini uji formil adalah uji proses pembuatan undang-undang di DPR sedangkan UU Pengamanan Barang Cetakan ini tidak. Bisa jadi pengujian ini bisa menyangkut dua hal tersebut yakni secara formil dan metril sehingga semangat reformasi dan harmonisasi hukum bisa berjalan,” terang Taufik Basari saat memberikan keterangan pers usai persidangan. (RN Bayu Aji)
sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3927#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar