Tindakan dapat kita mengerti jika ada koherensi antara tindakan agen dengan makna situasi yang dihadapinya bagi dirinya. Tindakan si agen akan kita rasakan membingungkan sebelum koherensi itu kita temukan … Koherensi ini sama sekali tidak menyiratkan bahwa tindakan itu masuk akal; makna sebuah situasi bagi pelaku bisa jadi penuh kekacauan dan pertentangan; tetapi penggambaran yang cukup tentang pertentangan itu menjadikannya dapat dimengerti. Charles Taylor, Philosophy and the Human Science (1971)
Mayor Jenderal Suharto |
Ada tanda tanya yang menggelantung hampir pada setiap aspek Gerakan 30 September. Mengapa sebuah gerakan yang menyatakan diri kepada umum pada 1 Oktober menamai dirinya dengan tanggal hari sebelumnya? Mengapa sebuah gerakan yang menyatakan diri sebagai murni tindakan intern Angkatan Darat juga memutuskan mendemisionerkan kabinet Presiden Sukarno dan membentuk pemerintahan baru atas dasar “dewan revolusi”? Mengapa sebuah gerakan yang menyatakan diri sebagai usaha untuk mencegah kup terhadap Presiden Sukarno tidak tegas-tegas menyatakan bahwa ia akan tetap menjadi presiden di dalam pemerintahan yang baru ini? Mengapa sebuah gerakan yang ingin mengganti pemerintah tidak menggelar pasukan untuk menguasai ibu kota sesuai dengan prosedur klasik dalam kudeta? Mengapa gerakan ini tidak menculik Mayor Jenderal Suharto atau bersiap untuk menghadapi pasukan-pasukan yang ada di bawah komandonya? Gerakan 30 September tampak sebagai kemelut yang kusut tanpa kepaduan.
Bertahun-tahun banyak orang berusaha mencerna apa kiranya logika pokok dari G-30-S. Orang harus berpikir bahwa para pelakunya bukanlah orang-orang yang menderita schizofrenia, tolol, atau berkecenderungan bunuh diri. Mereka pasti mempunyai tujuan-tujuan tertentu di dalam benak mereka dan tentu juga telah merancang tindakan dan pernyataan mereka sebagai sarana yang cukup efektif untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Bisa saja mereka salah membaca situasi politik dan salah menghitung kemampuan mereka sendiri, tapi tentu mereka tidak akan melangkah maju dengan G-30-S tanpa ada rencana yang masuk akal bagi mereka.
Ada empat pendekatan pokok untuk mengurai keganjilan-keganjilan G-30-S dan menetapkan semacam koherensi terhadapnya. Menurut penjelasan pihak militer Indonesia, sejak hari-hari pertama Oktober sampai sekarang, G-30-S merupakan siasat PKI sebagai sebuah institusi untuk merebut kekuasaan negara. Gerakan ini bukan sekadar sebuah pemberontakan atau kup, tapi awalan revolusi sosial secara menyeluruh untuk melawan semua kekuatan nonkomunis. Dua ilmuwan dari Cornell University, Anderson dan McVey, dalam analisis mereka pada Januari 1966, mengemukakan pembacaan alternatif terhadap G-30-S. Mereka menggarisbawahi pernyataan G-30-S sendiri, yaitu sebagai putsch intern Angkatan Darat yang dilakukan oleh perwira-perwira bawahan. Pendekatan ketiga, yang dikemukakan ilmuwan politik Harold Crouch, bermaksud membuktikan bahwa pada hakikatnya G-30-S merupakan kegiatan para perwira yang tidak puas tapi PKI juga memainkan peran pendukung yang kuat. Pendekatan keempat dipelopori seorang sosiolog Belanda, W.F. Wertheim, mengemukakan hipotesis bahwa Suharto dan para jenderal Angkatan Darat antikomunis mengorganisasikan G-30-S melalui agen ganda (khususnya Sjam) agar dapat menciptakan dalih untuk menyerang PKI dan menggulingkan Sukarno. ... [baca selanjutnya: 'Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto']
Tidak ada komentar:
Posting Komentar