BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling
bersejarah dalam cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu
peristiwa yang menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah
dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru.
Cita-cita tentang Indonesia yang demokratis, yang
menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan, yang meniscayakan
kebhinekatunggalikaan, sejak September 1965 terkubur bersama jutaan bangkai
manusia sebangsa. Setelah September
1965, kita seperti orang mabuk yang berjalan terseok-seok, kumuh, dan sering
beringas dalam menggapai dan merumuskan identitas sebagai sebuah bangsa. Tapi mengherankan,
tidak banyak studi yang dilakukan dalam masa-masa paling gelap itu. Tidak ada
’seujung kuku’ jika dibandingkan dengan, misalnya, studi tentang Holocaus
Nazi/Hitler terhadap bangsa Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II.
Padahal, Peristiwa G30S 1965 dan yang menyertainya, merupakan tragedi
kemanusiaan terbesar kedua setelah Holocaus dalam rentang skala, waktu, dan
jumlah korban yang ditimbulkannya. Kita seperti ingin melupakannya ketimbang
merenungkannya, ingin membantahnya ketimbang
memahaminya.
Salah satu dari sedikit sarjana yang mendedikasikan
dirinya dalam upaya mengungkap Peristiwa G30S tersebut adalah sejarahwan John
Roosa, yang saat ini menjadi profesor di University of British Columbia (UBC),
Kanada. Bukunya, Pretext for Mass
Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi Dalih
Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: ISSI
dan Hasta Mitra, 2007), adalah bagian dari upayanya untuk memahami peristiwa
tersebut. Untuk itu, bertepatan dengan bulan ‘gelap’ ini, M. Zaki Hussein dari Left
Book Review (LBR), berbincang-bincang dengan John Roosa. Berikut
petikannya:
Apa yang
membuat Anda tertarik untuk meneliti G30S dan pembantaian orang-orang PKI serta
sayap kiri pada 1965-1966?
Waktu saya belajar sejarah Asia Tenggara di universitas
tahun 1990an, saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan
sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil. Sebagai
sejarahwan, saya lihat ada kebutuhan untuk investigasi yang lebih mendalam guna
membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai manusia
biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, saya benci dengan rezim
Suharto. Rezim itu berfungsi sebagai attack
dog buat modal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan
brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip
HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang
Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada
konglomerat multinasional dengan harga murah.
Akhir tahun 1990an, saya heran kenapa gerakan reformasi
tidak mempersoalkan kejahatan-kejahatan yang terjadi waktu Orde Bobrok baru
dimulai, tidak bisa melihat rezim itu sebagai satu package dari 1965 sampai 1998. Miseducation
orang Indonesia selama 32 tahun cukup lengkap. Untuk mengerti rezim itu, kita
harus kembali ke hari-hari lahirnya.
’Saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil.’
Sekalipun sekarang
sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut kewenangan Kejaksaan
untuk melarang buku, tetapi buku Anda, Dalih
Pembunuhan Massal, pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 2009. Apa komentar Anda mengenai hal ini?
Dari satu segi, pelarangan itu bisa dianggap sebagai penghargaan.
Ternyata kekuatan buku saya tinggi sekali, sampai pejabat-pejabat takut buku
itu bisa mempengaruhi rakyat Indonesia. Dan pejabat-pejabat di Clearing house-nya Kejaksaan Agung
teliti sekali waktu membaca Dalih.
Konon, mereka telah siapkan laporan panjang dan mendaftar 143 kesalahan dari Dalih. Tapi, dari segi lain, pembredelan
itu tentu saja, menyedihkan. Kok di era reformasi dan era internet ada pejabat
yang mengira mereka masih bisa
membredel buku. Saya lihat kemenangan kami di MK tahun 2010 sebagai kemenangan untuk rule of law dan hak kebebasan berekspresi. Yang tetap
menjengkelkan, Kejaksaan Agung tidak mau membuka laporannya. Saya masih
penasaran, apa keberatan mereka terhadap buku saya dan kenapa mereka membredel Dalih?
Anda menyebutkan bahwa PKI sebagai
organisasi tidak terlibat dalam G30S, tapi ada individu PKI yang terlibat tanpa
persetujuan partai, bisa anda jelaskan secara singkat hal ini?
G30S itu operasi rahasia. Badan-badan partai, seperti
Central Committee (CC) dan CDB-CDB (Comite Daerah Besar) di tingkat propinsi, tidak pernah
membicarakan G30S, apalagi ambil keputusan. Menurut Iskandar Subekti, panitera
Politbiro, banyak dari anggota Politbiro itu sendiri tidak tahu persis apa itu
G30S (Di Politbiro ada kira-kira 12 orang: Aidit, Lukman, Sudisman, dll.). Soal
yang dibicarakan di Politbiro adalah: lebih baik PKI mendukung para perwira
progresif untuk mendahului Dewan Jenderal (DJ) atau tunggu sampai DJ melakukan
kudeta. Politbiro ambil keputusan bahwa PKI harus mendukung para perwira progresif
dan Aidit ditugaskan untuk melaksanakan keputusan itu. Sehingga anggota
Politbiro tidak melihat G30S sebagai aksi partai. Aidit membentuk tim inti yang
terdiri dari beberapa anggota Politbiro, misalnya Sudisman dan Oloan Hutapea,
dan hanya tim inti itu, tim ad hoc di
luar institusi formal di partai, yang bekerja dengan Sjam di Biro Khusus untuk
merancang operasi G30S. Tapi, belum tentu tim inti itu tahu persis apa itu
G30S. Tampaknya, Aidit dan pemimpin PKI lain di tim inti itu tetap berpikir
bahwa kelompok perwira progresif (Untung cs.) yang memegang peran utama dalam
aksi G30S. Mereka kira Untung, Latief, dan Suyono punya kekuatan militer yang
cukup untuk melawan jenderal-jenderal kanan dan punya rencana yang jelas.
Padahal, Untung cs. berpikir bahwa pemimpin PKI yang memegang peran utama. Dua
kelompok itu (orang PKI di tim intinya Aidit dan perwira militer) tidak pernah
duduk bersama untuk menyusun G30S. Karena Sjam jadi perantaranya, persiapan
aksi itu jadi kacau.
Rezim Suharto menangkap lebih dari satu juta orang atas
nama ’penumpasan G30S.’ Jelas penangkapan semasif itu sebenarnya tidak perlu
sebagai reaksi terhadap aksi kecil. Pepatah yang dipakai Sukarno benar: tentara
’membakar rumah untuk membunuh tikus.’ G30S merupakan dalih saja untuk kepentingan
yang lebih besar.
’Kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa.’
Anda
mengatakan bahwa peristiwa G30S itu sebenarnya merupakan dalih untuk sebuah
pembantaian massal. Lalu, apa sebenarnya tujuan utama di balik pembantaian
massal itu?
Ada dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri
(pengangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu.
Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang
mendukung proses land reform, dan
kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing.
Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak
melawan. Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh
orang yang sudah ditahan? Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang cukup
penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis
Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai
penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan bergantung kepada bantuan
finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.
Anda nyaris
tidak membahas apa yang terjadi di Lubang Buaya saat peristiwa G30S, kenapa
demikian? Apakah karena kurangnya data atau karena kejadian-kejadian di Lubang
Buaya memang tidak signifikan untuk merekonstruksi narasi tentang peristiwa
G30S?
Memang tidak banyak
informasi yang bisa diandalkan tentang apa persisnya yang terjadi di Lubang
Buaya. Hampir semua orang yang hadir di sana, tidak mau mengakui kehadiran
mereka atau tidak mau cerita secara jelas dan jujur tentang kejadian-kejadian
di sana. Wajar, kalau kita ingat teror yang mereka alami. Yang jelas,
propaganda kelompok Suharto tentang Lubang Buaya itu bohong belaka. Ya, rezim
itu sendiri tidak peduli dengan fakta: mereka tidak pernah membuat investigasi
dengan benar. Malah, mereka memaksa beberapa gadis yang tidak punya hubungan
dengan peristiwa itu mengaku membunuh para jenderal. Ada buku baru yang
mengharukan tentang hal ini: Aku Bukan
Jamilah (2011), oleh R. Juki Ardi. Kalau geng Suharto mau menghargai
jenderal-jenderal itu, seharusnya mereka melacak kejadian di Lubang Buaya
sampai bisa tahu persis siapa yang membunuh mereka dan atas perintah siapa.
Kalau informasi itu bisa diketahui, kita bisa memahami proses pengambilan
keputusan di dalam kelompok G30S (Sjam, Untung cs).
Anda
menyebutkan bahwa Amerika Serikat memiliki kontak dengan kelompok Jenderal
Angkatan Darat yang dinamakan 'brain
trust.' Apakah kelompok ini yang disebut dengan ’Dewan Jenderal?’ Seberapa
erat sebenarnya hubungan mereka dengan Amerika Serikat?
’Brain trust’ itu istilah yang dipakai oleh CIA
sendiri dalam laporan tentang G30S tahun 1968. Saya kira, tidak ada satu
kelompok perwira AD yang sering rapat dan menyusun bersama strategi yang jelas
untuk semacam konfrontasi terhadap PKI. Organisasi mereka lebih informal dan
strateginya disusun dalam pertemuan-pertemuan biasa. Yang jelas, jenderal Abdul
Haris Nasution menjadi pemimpin para perwira antikomunis dan dia sering bicara
dengan perwira lain tentang strategi untuk menghancurkan PKI. Hubungan antara
pimpinan AD dan AS erat sekali sebelum dan sesudah G30S. Banyak perwira AD
diterbangkan ke AS untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela
jadi informant untuk militer AS. AS
kasih senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan
finansial serta daftar nama anggota PKI. AS membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign.
Perusahaan-perusahaan AS berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno di
awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto.
’Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak.’
Ada yang
menyatakan bahwa sekalipun pembantaian 1965-1966 diorganisir oleh Angkatan
Darat, tetapi adanya ketegangan dan persaingan tajam antara kelompok komunis
dan nonkomunis juga menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya
pembantaian tersebut. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum
G30S, misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur, tidak
bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi, seperti
Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh sebegitu banyak
orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir tawuran-tawuran. Dalam
tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani melawan dan tidak akan banyak
orang yang gugur. Pembunuhan massal
terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas
milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing
dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak.
Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga terlalu sering
dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing yang dilakukan milisi maupun tentara.
Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka
perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya. Mereka adalah pengecut yang
kemudian berpose sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali
dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya.
Menurut
Anda, apa dampak pembantaian 1965-1966 yang sampai sekarang masih terasa, baik
terhadap korban maupun rakyat Indonesia secara umum?
Ya jelas masih
terasa. Identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat
antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini
berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk
menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga
berubah total. Sesudah 1998 orang Indonesia menggali lagi ide-ide dari zaman
pra-1965, dan juga pra-1959 (sebelum Demokrasi Terpimpin): ide-ide tentang rule of law, HAM, sekularisme, dll.
Apa pelajaran yang bisa
diambil gerakan Progresif di Indonesia sekarang agar peristiwa mengerikan
semacam G30S itu tidak terulang kembali?
Peristiwa G30S sendiri sebenarnya tidak begitu mengerikan. Seperti Bung
Karno katakan, G30S merupakan gelombang kecil dalam sejarah Indonesia yang
penuh dengan perang (RMS, DI/TII, PRRI/Permesta) dan kerusuhan. Berapa kali
Bung Karno mau dibunuh? G30S membunuh duabelas orang (enam jenderal, satu
letnan, anaknya Nasution, satpam di rumah sebelah rumah Leimena, keponakan Maj.
Gen. Panjaitan, dan dua perwira di Jawa Tengah). Yang jauh lebih mengerikan
adalah pembunuhan massal yang terjadi sesudah G30S. Sekarang yang penting
menurut saya adalah upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran di Indonesia
tentang kejahatan-kejahatan yang terjadi pada waktu itu. Secara umum orang
Indonesia tidak tahu apa-apa tentang kejahatan itu. Juga harus ada pengakuan
dari negara bahwa memang tentara dan orang sipil yang melakukan kejahatan. Extra-judicial killings, penghilangan
paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan
dan tidak bisa ditolerir.
Orang kiri sekarang harus mengoreksi diri juga: selama ini partai-partai
Marxis-Leninis tidak menghargai prinsip-prinsip HAM. Kita harus belajar
bagaimana berpolitik dan berperang melawan imperialisme dan kapitalisme seraya
tetap memegang Universal Declaration of Human Rights dan Konvensi-konvensi
Geneva.***
Wawancara ini dimuat pertama kalinya di: Left Book Review Indoprogress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar