24 Desember 2009

PERNYATAAN SIKAP INSTITUT SEJARAH SOSIAL INDONESIA (ISSI)

Rabu, 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung mengumumkan pelarangan lima judul buku yang dianggap 'mengganggu ketertiban umum', termasuk Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa yang diterbitkan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) pada 2008. Sebagai penerbit buku ini dan warga yang sadar akan hak menyampaikan pendapat dan menerima informasi kami menentang pelarangan itu. Pelarangan itu tidak saja bertentangan dengan prinsip umum hak asasi manusia tapi juga amanat UUD 1945 untuk 'memajukan kecerdasan umum.'


Institut Sejarah Sosial Indonesia menerbitkan buku
Dalih Pembunuhan Massal sebagai sumbangan terhadap studi sejarah kontemporer Indonesia, khususnya peristiwa G-30-S. Dalam buku ini John Roosa menunjukkan sikap ilmiah yang terpuji sebagai sejarawan: ia mengungkapkan sumber-sumber baru mengenai G-30-S yang belum pernah digunakan sebelumnya, menelaah setiap sumber yang ada mengenai peristiwa itu secara teliti, lalu menghadirkan argumentasi dan kesimpulan berdasarkan temuannya itu. Pelarangan oleh Jaksa Agung jelas menghalangi perkembangan studi sejarah pada khususnya dan kerja ilmiah pada umumnya.

Buku
Dalih Pembunuhan Massal sudah beredar selama satu tahun dan sembilan bulan, dan justru mendapat sambutan baik dari dalam maupun luar negeri. Buku ini masuk nominasi buku terbaik dalam International Convention of Asian Scholars, perhelatan ilmiah terbesar untuk bidang studi Asia pada 2007. Tinjauan terhadap buku ini dimuat dalam berbagai berkala ilmiah internasional. Di Indonesia sendiri, buku ini disambut baik oleh para ahli sejarah, guru sekolah dan masyarakat umum dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah yang digelar selama ini.

Singkatnya, jelas ada banyak pihak yang menarik manfaat dari terbitnya buku ini, dan keputusan Jaksa Agung melarang buku ini dengan alasan 'mengganggu ketertiban umum' sesungguhnya justru merugikan kepentingan umum.

Karena itu kami menuntut agar:

1. Kejaksaan Agung segera mencabut surat keputusan tersebut dan menghentikan praktek pelarangan secara umum. Perbedaan pandangan mengenai sejarah hendaknya diselesaikan secara ilmiah, bukan dengan unjuk kuasa menggunakan hukum warisan rezim otoriter.

2. Pemerintah dan DPR segera mencabut semua aturan hukum yang mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Warisan kolonial dan rezim otoriter yang ingin mengatur arus informasi dan pemikiran sudah sepatutnya diakhiri.

Kami percaya bahwa pelarangan buku ini tidak akan menyurutkan kehendak publik untuk mencari kebenaran. Dengan semangat itu dan juga sebagai bentuk konkret perlawanan, dengan pernyataan ini kami melepas
copyright atas buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa kepada publik sehingga dapat disebarluaskan melalui berbagai media. ISSI juga akan mengajukan somasi kepada Kejaksaan Agung dan meminta agar larangan itu dicabut. Jika tidak dipenuhi, ISSI akan menempuh jalur hukum dan menggugat keputusan Jaksa Agung tersebut.

Jakarta, 24 Desember 2009

ttd.

I Gusti Agung Ayu Ratih
Direktur

Hilmar Farid
Ketua Dewan Pembina

3 komentar:

Subhan mengatakan...

Sepakat dengan pernyataan sikap ini.

Era pelarangan buku sejarah harus diakhiri.

Anonim mengatakan...

Suharto mengambil alih sebagai presiden melebihi 3 dekade. Jadi orang yang lahir di era 70-an sampe 80-an tentu saja sudah di ceko'i dengan kepalsuan Suharto. Salah satunya adalah film2 bohong yang di produksi Suharto. PKI hanya di kambing hitamkan, jutaan jiwa di bunuh secara massal tanpa peri kemanusian. Dulu orang2 PKI hanya rakyat jelata yang tidak tahu menahu tentang pemerintahan, malah sebaliknya selalu bersikap jujur terhadap manusia. Tetapi demi meraih Jabatan Suharto dan kroninya tega mengkambing hitamkan. Hingga akhirnya sampe sekarang di tuduh sebagai Partai yang kejam. Karena 3 dekade lebih bangsa di manupulasi. Udah saatnya bangsa Indonesia maju dan terbebas dari otoriterisme. Saya sepakat dengan penulis!

4hm4d mengatakan...

kapan indonesia punya pemimpin yg benar2 seorang negarawan ,bukan pemimpin yg cari amanya sendiri,,kami yg lahir sesudah kejadin itu menginginkan sejarah kebenaranya bukan kebohongan ,capek belajar sejarah di sekolah 9th tapi yg di pelajari kebohongan.....SUNGGUH TERLALU......